• Replace This Text With Your Featured Post 1 Description.
  • Replace This Text With Your Featured Post 2 Description.
  • Replace This Text With Your Featured Post 3 Description.
  • Replace This Text With Your Featured Post 4 Description.
Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2011/02/membuat-widget-gambar-slide-show.html#ixzz1zR5sFxpR

searchbox

Rabu, 26 November 2008

Membesarkan Kembali Garebeg Besar


GAREBEG Besar di Demak akan berlangsung mulai 27 November hingga 10 Desember mendatang. Namun, banyak kekhawatiran acara ini akan kehilangan identitas dan kesakralannya. Berganti menjadi momen euforia. Padahal, otentitas tradisi menjadi nilai lebih di mata internasional.

Fungsi tradisi tidak hanya sebagai perwujudan dari penghargaan terhadap warisan nenek moyang dengan melestarikannya. Tidak hanya nilai seni. Zaman sekarang, tradisi budaya dituntut bisa memberikan nilai ekonomi. Perkawinan nilai tradisi dan nilai ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Budaya dikemas secara modern.

Semula, Garebeg Besar yang digelar setiap 10 Dzulhijjah ini dilaksanakan untuk memeringati Hari Raya Idul Adha dan berlangsung di lingkungan Masjid Agung Demak. Selain itu, diselenggarakan pula keramaian (garebeg) yang disisipi syiar-syiar keagamaan sebagai upaya penyebarluasan Islam oleh Walisongo.

Garebeg Besar mempunyai arti tersendiri bagi umat Islam. Tidak hanya bagi warga Demak, kawasan Kedungsapur juga turut serta dalam memeriahkan kegiatan ini. Sebuah kekayaan budaya warisan kerajaan Demak yang bernilai.

Kehilangan Arah

Namun, lambat laun, Garebeg Besar mulai kehilangan arah. Yang terlihat bukan lagi pelestarian tradisi, melainkan telah melenceng dan larut oleh aneka permainan dan hiburan ngepop.

Dari tahun ke tahun, kesan glamour seolah menjadi grand tema. Artis Ibu Kota didatangkan, dalihnya menarik minat penunjung. Tahun kemarin Didi Kempot dan Dara AFI, sedangkan tahun ini akan menghadirkan Wali Band dan Monata Dangdut dari Sidoarjo (Jatim).

Rangkain perayaan pun diisi festival band, kontes penyanyi dangdut, dan parade musik R&B. Selain itu, arena Garebeg di Lapangan Tembiring Joglo Indah juga terlalu dipenuhi dengan berbagai jenis permainan. Diantaranya komedi putar, tong setan, tong medan, dan sirkus.

Acara puncak, yaitu kirab pusaka setelah shalat id, pun karam oleh hiburan-hiburan yang tidak senafas dengan nilai agama. Ya, perayaan budaya yang mestinya menjadi momen menelusuri jejak dan nilai-nilai cita, rasa dan karsa yang telah ditorehkan nenek-moyang, malah menjadi arena hura-hura, menghibur diri. Akhirnya, menghibur diri lebih diutamakan warga yang hadir ketimbang berziarah ke makam tokoh agama dan kerajaan, melacak warisan peninggalan kerajaan, dan apalagi ikut puncak Garebeg. Lewat pengelolaan yang menomorsekiankan nilai tradisi, mungkinkah Garebeg Besar akan dipandang khalayak nasional, bahkan mancanegara? Bisa dipastikan, dilirik pun tidak.

Pelestarian tradisi dalam Garebeg Besar kini malah dipertanyakan. Pengemasannya perlu dikaji ulang, untuk kemudian dicari format yang pas. Jika tidak, lambat laun, Garebeg Besar sebagai budaya hanya akan tinggal nama. Asing bagi pewarisnya.

Bagaimana melestarikan tradisi dan pengemasan yang menghasilkan nilai ekonomi tanpa menghilangkan keasliannya sudah dipraktikkan beberapa kota di Indonesia. Terbukti Yogyakarta, Solo, dan Bali mampu menghiasi mata internasional. Melalui pelestarian tradisi, banyak yang mereka raih, lebih dari sekadar pendapatan.

Revitalisasi

Sebuah kebanggaan tersendiri jika kedepan, Demak sebagai tempat bertenggernya kerajaan Islam pertama di Jawa dikenal di mata internasional melalui pelestarian tradisinya. Garebeg Besar harus dikelola secara maksimal dan terarah, agar menjadi wisata religi dan budaya.

Besaran aktivitas menghadiri acara malam hari raya Idul Adha seolah telah menjadi keharusan bagi warga Demak dan kota-kota sekitar. Warga desa berduyun-duyun menuju lokasi perayaan. Tumplek bleg, menyatu di arena Grebeg dan sekitarnya.

Momen puncak berkumpulnya warga ini mestinya menjadi kesempatan masyarakat untuk belajar tentang identitas mereka yang telah dibangun masa lampau. Warisan sisa kerajaan masa itu perlu dikenal dan dekatkan kepada masyarakat.

Grebeg yang oleh Walisongo dimanfaatkan untuk menyebarluasan agama Islam jangan sampai hilang kesakralannya oleh hiburan-hiburan. Pengemasan perayaan pun perlu melibatkan warga yang tidak hanya berhenti sebagai pemirsa, tapi juga aktif mengisi rangkaian acara.

Dengan demikian, selain menghidupkan tradisi dan mengenal warisan kerajaan, Garebeg Besar menjadi momen Demak menunjukkan eksistensinya. Konser dangdut atau band selayaknya diganti dengan kekayaan Demak dan sekitar.

Acara yang berlangsung selama dua minggu itu mestinya benar-benar menjadi wahana bagi masyarakat Demak untuk menampilkan kekayaan daerahnya, baik berupa karya seni, makanan atau hasil bumi khas. Melaluinya, akan timbul sense of belonging warga terhadap tradisinya. Dan Garebeg Besar menjadi kebanggaan pemerintah dan warga.

Swastanisasi pengelolaan Garebeg Besar, yang sudah berjalan dua tahun terakhir, seharusnya tidak menjerumuskannya ke jurang komersialisasi dan penafian nilai-nilai tradisi dan ritual budaya. Selama ini, fokus pengelolaannya adalah bagaimana mengejar peningkatan pendapatan daerah. Tidak menguri-uri tradisi warisan.

Perpaduan nilai tradisi dan ekonomi seharusnya tidak menafikan salah satunya. Jangan sampai terjebak oleh pengejaran pendapatan daerah berkedok formasitas upacara budaya, tanpa menghadirkan makna. Jika tidak, Garebeg Besar akhirnya hanya tinggal nama. (32)

—Farih Lidinnillah, warga Demak, mahasiwa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Pada rubrik Wacana Lokal (SM)/24 November 2008. Link : Membesarkan Kembali Garebeg Besar 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Didesain oleh Puskindo | Dipersembahkan untuk Sivitas Akademika - Universitas Muria Kudus